Jumat, 08 Januari 2016

Menanti Ketangguhan Jasa Konstruksi Indonesia di Era Pasar Bebas


Ironis. Kata ini, mungkin, pas sebagai wujud penggambaran dunia konstruksi Indonesia. Disebut ironis karena ada dua sisi berbeda dalam proses dinamikanya. Satu sisi menyatakan negeri ini sebagai pemilik potensi terbesar pasar konstruksi di kawasan Asia Tenggara. Satu sisi lagi adalah tentang sedikitnya jumlah sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan berkualitas di bidang ini.
 
Mengutip data dari Asia Construction Outlook 2014, nilai pasar konstruksi Indonesia di Asia Tenggara diketahui mencapai 267 miliar dolar AS. Besaran angka ini adalah 10 kali lipat di atas pasar konstruksi Singapura. Sementara di kawasan Asia, nilai pasar konstruksi Indonesia berada di urutan empat, di bawah Tiongkok (1,78 triliun dolar AS), Jepang (742 miliar dolar AS), dan India (427 miliar dolar AS).

Bagi para pelaku jasa konstruksi, data tadi mengibaratkan Indonesia sebagai wanita muda nan cantik dengan postur bahenol yang sangat menggiurkan. Sangat menggoda dan menantang untuk bisa didapat dan diolah. Bukan cuma untuk pelaku konstruksi dalam negeri, tapi juga bagi para pelaku jasa konstruksi asing. Dalam bayangan mereka, dengan besarnya kapasitas yang dimiliki, tentunya masih ada ruang dan celah yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan. Asal bisa dapat, keuntungan sudah mulai bisa dibayangkan. Tapi kembali, itu jika melihat dari satu sisi.

Di sisi yang lain, data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR), memunculkan jumlah SDM asli Indonesia di bidang konstruksi sebanyak 7,2 juta orang. Tapi dari jumlah itu, cuma 109.000 SDM yang mengantongi sertifikat tenaga ahli. Sebanyak 387.000 SDM lagi masuk kategori tenaga terampil. Sisanya? Entahlah.

Itu baru hitungan secara per kepala. Sementara jika berhitung dari jumlah badan usaha yang ada, berdasarkan data terakhir tercatat ada 77.000 perusahaan kontraktor dan 101.000 perusahaan kontraktor dengan keahlian. Namun dari seluruh jumlah itu, hanya 1.974 perusahaan kontraktor yang masuk kategori spesialis.

Sedangkan jika merujuk dari data Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), saat ini tercatat ada 186.000 kontraktor di Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 1% yang masuk kategori besar (grade 7). Kemudian kategori menengah (grade 5 – 6) hanya 9%, dan sisanya termasuk kategori kecil (grade 4) dengan besaran modal pas-pasan dan cuma mampu menggarap proyek single year atau tahun tunggal.

Menyoal hal ini, pendapat Ketua Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) DKI Jakarta, Peter Frans, mungkin bisa dipakai sebagai salah satu jawaban. Menurut Peter, kondisi ini bisa terjadi akibat regulasi pemerintah yang menetapkan imbalan rendah terhadap tenaga ahli konstruksi yang mumpuni. Selain itu, ada juga regulasi yang menyatakan bahwa seorang tenaga ahli konstruksi tak diperbolehkan bekerja dan menangani dua proyek sekaligus.

“Regulasi itu yang membuat peluang bekerja di bidang konstruksi menjadi kurang menarik bagi tenaga ahli konstruksi. Kalau sampai ketahuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ada tenaga ahli konstruksi yang menangani dua proyek sekaligus, imbalan yang boleh diambil hanya dari satu proyek. Sementara dari proyek lainnya wajib dikembalikan,” tutur Peter Frans.

Kondisi seperti itu, lanjut Peter, membuat para ahli konstruksi Tanah Air menjadi kehilangan selera untuk menyantap ‘kue’ konstruksi Indonesia yang sebenarnya terasa sedap dan renyah. Karena tak ada lagi selera, banyak ahli konstruksi dalam negeri akhirnya memilih banting stir atau hijrah ke negeri orang untuk kembali menekuni bidang yang sama. Akibatnya, banyak badan usaha konstruksi dalam negeri kekurangan SDM berkualitas untuk bisa menaikkan grade-nya.

“Faktanya banyak SDM Tanah Air yang berotak encer dan berlatar belakang pendidikan konstruksi tapi enggan bekerja di bidang tersebut. Kalau pun ada yang terjun ke dunia konstruksi di sini, kualitasnya tak sebaik yang diharapkan,” jelas Peter.

Dikatakannya lagi, jika kondisi seperti ini terus berlangsung tanpa ada solusi terbaik, maka dunia konstruksi Indonesia yang sangat menggiurkan itu dipastikan bakal dinikmati pihak asing. Terlebih era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tak lagi bisa dielakkan. Mandulnya kekuatan SDM dan perusahaan jasa konstruksi Indonesia bak satu lubang besar yang siap dieksplorasi oleh tenaga-tenaga konstruksi asing berkualitas. Pada akhirnya, SDM jasa konstruksi Indonesia ibarat menjadi budak di negeri sendiri. Sedangkan badan usaha konstruksi dalam negeri seperti mati suri.
 
Pembenahan Badan Usaha dan SDM

Dari pihak pemerintah, ironisnya kondisi dunia konstruksi Indonesia sudah menjadi perhatian khusus. Apalagi dikaitkan dengan pemberlakuan MEA. Satu demi satu pembenahan mulai diupayakan, mulai dari badan usaha, SDM, produsen material konstruksi, hingga ke urusan teknologi konstruksi.

Selain itu, untuk mengoptimalkan daya saing pelaku konstruksi nasional menghadapi MEA, juga akan segera diwujudkan konsep Indonesia Incorporated yang sudah dipersiapkan. Konsep ini berisi tentang pola kepaduan dan interkonektivitas yang saling mendukung antarlini, baik instansi maupun perusahaan nasional. Penerapan konsep ini sebenarnya sudah lama diaplikasikan di banyak negara industri, seperti Jepang dan Korea Selatan.

Persiapan lainnya lagi adalah komitmen pemerintah untuk mendorong dan memfasilitasi perluasan akses pasar konstruksi ke negara-negara anggota ASEAN. Di antaranya seperti, pengurangan hambatan akses pasar, promosi pelaku konstruksi nasional, diplomasi bisnis, fasilitasi akses permodalan dan penjaminan, perjanjian penghindaran pajak ganda, serta informasi pemetaan pasar dan lingkungan usaha di negara tujuan.

Sekarang kembali ke upaya pembenahan seperti disebutkan di atas. Salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah saat ini adalah, merampingkan perusahaan jasa konstruksi kategori general menjadi perusahaan jasa konstruksi kategori spesialis. Upaya perampingan ini otomatis memang bakal membuat jumlah perusahaan konstruksi Tanah Air berkurang. Tapi hal itu sudah masuk dalam risiko perhitungan yang dilakukan.

“Menghadapi era pasar bebas MEA, yang paling menentukan adalah kualitas bukan kuantitas. Tak masalah jumlah perusahaan kontraktor di Indonesia berkurang. Yang penting adalah kualitas perusahaannya agar bisa berperan sebagai aktor utama di rumah sendiri,” kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi, Yusid Toyib.

Selain melakukan perampingan, pemerintah juga akan melakukan uji kompetensi terhadap seluruh SDM jasa konstruksi Indonesia. Uji kompetisi dibutuhkan untuk mendapatkan SDM jasa konstruksi dengan kualitas dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan era MEA.

“Menghadapi era MEA, kita didesak kebutuhan SDM jasa konstruksi dengan kualitas standar internasional dan juga badan usaha konstruksi yang profesional. Kalau kita tak mampu penuhi itu, akan tergilas masyarakat jasa konstruksi kita di era MEA. ‘Kue’-‘kue’ konstruksi lezat Tanah Air yang harusnya menjadi santapan tuan rumah malah berpindah jadi santapan pihak asing,” papar Yusid.

“Kami targetkan dalam lima tahun upaya ini sudah bisa melahirkan 500 badan usaha konstruksi percontohan dengan kualitas bagus serta 2,8 juta SDM konstruksi mumpuni yang mengantongi sertifikat kompetensi,” lanjutnya.

Melalui upaya pembenahan ini, masih kata Yusid, juga diharapkan bisa memunculkan keberanian dari kontraktor Indonesia untuk bersaing memerebutkan ‘kue’ kontruksi di luar negeri. Bukan cuma bersaing berebut tender konstruksi pemerintah di dalam negeri.

Selain itu, masih kata Yusid, pemerintah saat ini juga tengah bekerja sama dengan  pemerintah di kawasan ASEAN untuk membuat  kesetaraan sertifikasi. Hal ini harus dilakukan agar kemampuan dan keterapilan tenaga kerja konstruksi Indonesia juga bisa mendapat pengakuan di luar negeri.

Pembenahan Produsen Material Konstruksi


Upaya pembenahan lainnya yang kini juga dilakukan adalah menyangkut  produsen material konstruksi. Seperti diketahui, sebagian material konstruksi sampai saat ini masih bergantung pada bahan impor. Contoh gampangnya seperti proyek jembatan Surabaya – Madura (Suramadu) senilai Rp4,5 triliun, di mana material baja konstruksinya dibuat oleh Baosteel Group and Shougang Company Ltd. Selesai dibuat, material itu kemudian dipabrikasi lagi menjadi komponen jembatan oleh Jiangnan Heavy Industri Co. Ltd, perusahaan baja terbesar di Tiongkok daratan yang berdiri sejak tahun 1865.

Kebutuhan material konstruksi impor yang masih tinggi ini memang sudah berlangsung lama. Namun tak pelak hal ini juga acap membuat perusahaan jasa konstruksi lokal terbelit persoalan pembayaran. Apalagi harga material impor mengacu pada fluktuasi kurs dolar AS, yang mana belakangan ini makin perkasa terhadap rupiah dan merangsang kenaikan harga antara 15% hingga 20%. Tak cuma baja, kenaikan juga merembet ke material konstruksi lainnya seperti aspal dan semen.

Mengantisipasi persoalan ini, banyak pihak berharap pemerintah bisa menyesuaikan harga kontrak proyek konstruksinya. Pasalnya, kenaikan sudah terbilang tak wajar dan melewati perhitungan batas risiko sebelumnya yang dibuat oleh perusahaan jasa konstruksi. Jika tetap memakai harga kontrak proyek konstruksi sebelumnya, pihak distributor cenderung menahan pasokan material konstruksi hingga kondisi rupiah kembali membaik terhadap dolar. Cuma kapan? Tak ada yang bisa tepat memprediksi, bukan.

Oleh sebab itu, mengantisipasi segala risiko yang bisa muncul kapan saja, saat ini pemerintah juga sedang giat-giatnya melakukan upaya pantau ketersediaan material. Selain memantau ketersediaan, upaya ini juga dilakukan sebagai bentuk antisipasi risiko meningkatnya pembangunan infrastruktur di daerah-daerah. Salah satunya adalah memantau ketersediaan material konstruksi jenis aspal dan semen.

Mengacu data tahun 2014, kapasitas atau ketersediaan aspal nasional adalah sebanyak 890.000 MT (matrik ton). Kapasitas ini terdiri dari pasokan PT Pertamina 650.000 MT, dan Aspal Buton 40.000 MT dari target 59.000 MT. Sedangkan sisanya impor sebesar 200.000 MT di antaranya dari Shell dan Exxon.

Namun begitu, kapasitas aspal yang terpenuhi itu tetap tak mampu memenuhi kebutuhan ril di lapangan kala itu yang mencapai 1.300.000 MT. Masih ada kekurangan sebanyak 410.000 MT lagi meski sudah berupaya impor. Kondisi ini tak beda dengan kebutuhan baja. Kendati sebagian material sudah diolah di dalam negeri, namun bahan bakunya tetap masih banyak mengimpor.

Untuk tahun 2015, kebutuhan material aspal dan semen memang relatif lebih baik, Aspal Buton tengah dikebut produksinya hingga 132,5 juta MT untuk bisa menutupi kebutuhan aspal impor. Sementara untuk material semen, PT Semen Indonesia Tbk tahun ini juga sedang menggeber peningkatan volume penjualan antara 6% hingga 7%. Upaya ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang menurunkan harga semen kantong produksi BUMN sebesar Rp3.000 per sak.

Kembali Menggalakkan Profesi QS

Berkaitan dengan kesiapan pelaku jasa konstruksi Indonesia menghadapi era pasar bebas MEA, pemerintah kini juga mulai kembali menggalakkan jasa Quantity Surveyor (QS). QS adalah pola fungsi pekerjaan bidang konstruksi dengan skala yang cukup luas, di mana penerapan fungsi QS meliputi pengelolaan atas aspek kontraktual pekerjaan konstruksi, pengadaan sumber daya dan management pengendalian biaya.

Dalam penerapannya, QS memiliki banyak tugas dan fungsi. Beberapa di antaranya seperti, menyiapkan dokumen tender dan kontrak, melakukan analisis biaya untuk perbaikan dan pemeliharaan proyek, manajemen risiko dan nilai serta pengendalian biaya, mengidentifikasi, menganalisis dan mengembangkan tanggapan terhadap risiko komersial, dan menyusun serta menganalisis penghitungan biaya untuk tender.

Contoh penerapan jasa QS ini bisa dilihat dari operasional proyek-proyek yang dikerjakan PT Wijaya Karya (WIKA) Tbk. BUMN bidang konstruksi ini menerapkan fungsi QS dengan fungsi komersial, di mana melekat di dalamnya fungsi administrasi kontrak, budget control, dan penjualan. Meski sejatinya cakupan fungsi QS itu sendiri  lebih luas dibanding fungsi komersial.

Profesi QS sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Profesi ini sudah masuk ke Tanah Air sejak awal tahun 1970-an. Namun begitu, dalam perkembangannya tak setiap proyek konstruksi memanfaatkan jasa QS, baik dari pihak kontraktor maupun dari pihak pemberi proyek. Namun kondisi ini mulai membaik di tahun 1980-an, di mana jasa QS mulai lebih sering dipakai pada proyek-proyek konstruksi Indonesia, terutama proyek swasta.

Meski sudah lumayan lama ada dan dikenal di Indonesia, nyatanya jasa QS tak tumbuh subur. Cenderung lambat jika tak ingin disebut stagnan. Ini bisa terjadi karena tak adanya pendidikan formal tentang QS di Indonesia. Beda kondisinya dengan Singapura atau Malaysia yang memasukkan QS sebagai pendidikan formal di universitas.

Seperti dikatakan Hediyanto W Husaini saat masih menjabat Plt Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PU-PR, “Pemerintah sekarang sudah mendorong dibuatnya regulasi untuk menjadikan QS sebagai pendidikan formal di berbagai sekolah dan universitas di Indonesia.”

Menurut Hediyanto, selama ini profesi QS di Indonesia sering menyimpang dari tugas mulianya akibat tuntutan loyalitas dan integritas dari perusahaan yang menggunakannya. Seringkali tenaga QS diminta untuk membuat analisis yang memungkinkan dilakukan perbuatan ‘mark up’ yang akan merugikan salah satu pihak.

“Saat ini pemerintah sudah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu fokus utama. Alokasi dana yang disiapkan sekitar Rp5.000 triliun untuk masa 2015-2019. Karena itu sangat penting dan dibutuhkan profesi QS yang profesional untuk menyukseskan program tersebut,” tegas pria yang kini menjabat sebagai direktur jenderal Bina Marga.