Selasa, 19 Juni 2018

Kenapa Jerman Bisa Dipermalukan Meksiko di Piala Dunia 2018?



Pukulan telak nan mengejutkan langsung menohok timnas Jerman pada laga perdana Grup F Piala Dunia 2018. Jerman yang notabene adalah juara bertahan dipaksa menerima kekalahan 0-1 dari Meksiko di Luzhniki Stadium, Minggu (17/6). Kekalahan yang juga berarti kehilangan tiga poin berharga di fase grup untuk meraih tiket ke babak 16 besar.

Kekalahan Die Mannschaft ini juga jadi kali pertama terjadi lagi sejak terakhir kali kalah pada gelaran laga perdana Piala Dunia 1982. Ketika itu, Die Mannschaft takluk 1-2 dari Aljazair pada laga perdana Grup 2 di Estadio El Molinón, Gijon.

Die Mannschaft pada akhirnya memang tetap bisa lolos sebagai juara grup kala itu. Bahkan terus melaju hingga final sebelum dikalahkan Italia 1-3 di partai puncak. Apakah catatan ini bisa jadi panduan sekaligus motivasi ekstra Die Mannschaft zaman now yang tengah berlaga di Piala Dunia 2018?

Jika iya?  Syukurlah. Jika tidak?

“Kami bermain sangat buruk di babak pertama. Anak-anak tak bisa memaksakan cara bermain seperti yang biasa dilakukan. Umpan-umpan yang digulirkan tak efektif di ruang yang ada. Meksiko banyak melakukan serangan balik dan kami harus bertahan,” jelas pelatih Die Mannschaft, Joachim Loew saat konferensi pers usai laga.

“Akan selalu ada sebuah masalah yang harus kami hadapi. Pada pertandingan selanjutnya, kami harus menjadi lebih baik,” sambungnya.


Joachim Loew
Jogi -- panggilan karib Loew, sudah mengakui anak-anak asuhnya bermain buruk, terutama di babak pertama, saat menghadapi Meksiko. Pola 4-2-3-1 yang dia pasang dengan menempatkan Toni Kroos dan Sami Khedira sebagai double pivot untuk menyeimbangkan permainan tak berjalan sesuai harapan.

Kalah sangar dengan pola 4-2-3-1 yang dipersiapkan pelatih Meksiko, Juan Carlos Osorio untuk menghadapi Jerman secara khusus di laga ini. Osorio juga membuat sejumlah perubahan strategi untuk membuat Die Mannschaft seperti mati kutu di laga ini.

Miguel Layun yang di Sevilla bermain di posisi fullback, untuk laga ini spesial ditempatkan Osorio sebagai gelandang box-to-box untuk mempertahankan ruang di sisi sayap dan tengah.  Dengan tingkat stamina tinggi serta kecepatan menutup ruang yang sangat baik dan sangat disiplin, peran ini bisa dengan baik dipikulnya.


Alur pergerakan pemain Jerman dan Meksiko selama pertandingan.

Demikian juga dengan Carlos Salcedo. Saat menghadapi Jerman, bek tengah Eintracht Frankfurt ini justru dipasang Osorio sebagai fullback.  Dengan pemain lawan terdekatnya adalah Julian Draxler yang justru banyak bergerak ke tengah meski  penempatan posisinya adalah sayap kiri, Salcedo terlihat tak kerepotan menjaga dan mengatur perubahan dinamis area pertahanannya.

Sebaliknya, saat pemain Meksiko cair bermain dalam perubahan yang dinamis, para pemain Die Mannschaft justru cenderung bergerak kaku dalam transisi permainan. Toni Kroos yang di Real Madrid dikenal punya pergerakan mobile antar-lini, pada laga melawan Meksiko kemampuannya itu tak muncul.

Kroos lebih sering bergerak turun melebar ke sisi  flank kiri untuk menyokong pergerakan fullback Marvin Plattenhardt. Idem ditto dengan Sami Khedira yang condong bergerak ke kanan untuk berkolaborasi dengan Joshua Kimmich. Dua pivot yang harusnya bisa meredam aliran serangan Meksiko dari lini tengah malah sibuk bermain melebar dan meninggalkan celah bolong di tengah.  

Mesut Oezil yang menempati posisi sebagai penyerang lubang juga terpancing untuk aktif bergerak melebar ke kanan menopang pergerakan Joshua Kimmich yang dimatikan Jesús Gallardo. Akibatnya, muncul beberapa celah besar antara gelandang serang Die Mannschaft dengan Timo Werner yang diflot sebagai ujung tombak. Werner pun terisolasi tanpa banyak mendapatkan umpan matang yang bisa dikonversinya menjadi gol.

Tanpa disadari kubu Die Mannschaft, pola transisi permainan yang ditunjukkan itu justru menciptakan beberapa potongan puzzle di lini pertahanan Jerman. Soalnya, enam hingga delapan pemain Die Mannschaft sudah terpancing naik cukup tinggi dan kerap terlambat turun untuk menutup celah pertahanan. Cuma tersisa Jerome Boateng dan Mats Hummels saja yang dekat  area pertahanan Jerman.


Formasi  pertahanan Jerman saat terciptanya gol kemenangan bagi Meksiko.

Potongan-potongan puzzle inilah yang kemudian dimanfaatkan para pemain Meksiko ketika mendapatkan bola. Lewat kecepatan para pemain di lini serangnya, El Tri – julukan timnas Meksiko beberapa kali mampu menebar ancaman serius lewat skema serangan balik. Dan satu di antaranya berhasil menjebol gawang Manuel Neuer lewat sepakan keras Hirving Lugano pada menit ke-35.


Ekspresi Hirving Lugano usai mencetak gol ke gawang Jerman.

Seperti diakui Osorio, Lugano yang kini berusia 22 tahun dan bermain untuk PSV Eindhoven adalah pemain tercepat di skuat El Tri. Saat menghadapi Jerman, Lugano diflot sebagai sayap kiri untuk berkolaborasi dengan Carlos Vela dan Miguel Layun sebagai trio gelandang serang El Tri untuk mendukung Javier ‘Chicarito’ Hernandez sebagai ujung tombak.

Pun begitu, saat dalam tekanan justru Chicarito yang turun agak dalam untuk membantu pertahanan. Posisi Vela tetap di atas untuk menahan Kroos berkreasi membantu serangan dan Layun jadi gelandang 'tukang angkut air' untuk menutup celah di sisi tengah dan sayap kanan. Tinggal tersisa Lugano yang punya kecepatan untuk menjelma jadi target man saat melakukan counter-attack. Dan rencana itu berhasil.

Lebih cerdik

Secara skema, saat melawan Meksiko Die Mannschaft memang menerapkan pola 4-2-3-1. Pun begitu, sepanjang permainan pola itu justru terlihat melebur jadi 2-1-7. Boateng dan Hummels jadi peredam serangan dan Kroos berfungsi sebagai gelandang yang dipaksa bertahan.

Masuknya Marco Reus menggantikan Khedira dan Mario Gomez menggantikan Platterhardt makin mempertegas skema tersebut. Sementara kehadiran Juliant Brandt menggantikan Werner di lima menit terakhir seperti penahbisan Die Mannschaft sudah kehabisan akal menghadapi El Tri yang berganti skema ke 5-4-1 pada babak kedua.

Harus diakui, untuk laga ini Osorio memang lebih cerdik ketimbang Jogi. Namun hasil ini juga tak mengartikan kiamat untuk Jerman. Masih ada dua laga “final” yang bisa dimenangi Jerman untuk mendapatkan tiket ke babak 16 besar. Pertama menghadapi Swedia, dan terakhir melawan Korea Selatan.  

Para pemain, pelatih, dan seluruh pendukung Die Mannschaft pun masih yakin bisa mendapatkan itu. Namun dengan catatan sekaligus peringatan: Die Mannschaft harus bisa menunjukkan penampilan yang jauh lebih baik, lebih cerdik, lebih kolektif, dan lebih efisien. Semoga.