Belum
lama ini saya ada ngobrol dengan salah seorang yang bekerja di Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Saya tak perlu menyebut di BPN mana rekan saya bekerja. Tak
etis dan juga tak ingin dirinya jad target bully banyak orang.
Obrolan yang berlangsung santai di lingkungan kantor BPN ketika itu membahas banyak macam tema. Termasuk juga sepak bola. Pun begitu, dari banyak macam tema yang dibahas, ada satu tema yang terasa sangat menggelitik saya.
Mau
tahu apa itu? “Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sekarang banyak
yang bersuara keras untuk menolak keras
pungutan liar alias pungli yang hampir sehari-hari mereka dapati di BPN,” kata teman saya.
“Oww, bagus dong, itu,” sambut saya.
“Iya
bagus karena jadi simbol apresiasi mereka atas terwujudnya tim Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber
Pungli) Pertanahan. Tapi untuk apa kalau bagusnya cuma sebagai simbol,” jawab
rekan saya.
“Suara
keras mereka menolak pungli di BPN sama artinya dengan pemahaman maling teriak
maling. Mereka juga maling tapi teriakin
orang lain yang maling,” cetusnya lagi.
Olala,
kok, begitu?
Begini
deh, lanjut teman saya, fakta lapangan membuktikan bahwa PPAT dominan terlibat
langsung dengan masyarakat di urusan pertanahan. Entah itu urusan akta jual
beli (AJB) untuk peralihan hak atau balik nama, entah itu urusan AJB untuk
proses peningkatan hak dari girik menjadi sertifikat, atau urusan-urusan
pertanahan lainnya.
Satu
contoh gampangnya boleh diambil ke proses peralihan hak atau balik nama. Jika
masyarakat mengurus dan memohon sendiri ke BPN, biaya yang dibebankan secara
resmi untuk urusan ini bisa dicek langsung dan dibayarkan melalui bank.
Rumus
biaya untuk urusan ini adalah Rp50.000 ditambah 1 per mil NJOP. Bervariasi
memang. Tapi tak sampai membuat kerongkongan tercekat saat mendengarnya.
Pun
begitu, fakta lapangan toh, tak mencerminkan hal tersebut. Disebutkan teman
saya, jika diambil rata-rata 100 pemohon setiap hari di BPN, yang murni memohon
sendiri rata-rata maksimal cuma 10 orang. Sisanya yang 90 pemohon lagi
mengajukan permohonan melalui perantara PPAT dan orang-orang PPAT.
PPAT
dan orang-orang PPAT itu menjual jasa pengurusan sampai selesai ke masyarakat.
Berapa nilainya?
“Tanah
yang cuma 35 m2 aja bisa dikenakan biaya AJB sekaligus balik nama Rp12 juta ke
pemohon. Dari angka tersebut yang masuk ke kantong oknum pegawai BPN dan jadi
kriteria pungli paling banter Rp1 juta
hingga Rp2 juta. Sisanya jadi cuan PPAT dan orang-orang PPAT,” bebernya.
“Kalau
sesekali okelah kita bisa anggap jual jasa. Tapi kalau tiap hari ada masukin
permohonan ke BPN apa itu ga disebut calo,” sungutnya.
“Dan
catat, rata-rata PPAT itu ga mau cuma buat AJB saja tanpa terlibat untuk proses
berikutnya ke BPN. Makanya hampir semua masyarakat melimpahkan urusan
sertifikasi pertanahan mereka ke PPAT. Tak banyak yang memohon sendiri ke BPN.
Bisa jadi karena terkendala waktu untuk mengurusnya,” sambungnya lagi.
Dikatakan,
jika mau jujur dan berkaca pada diri sendiri, sudah tak sepantasnya jika ada
banyak PPAT yang lantang bersuara agar BPN bersih dari praktik pungli. Karena
walau bagaimana pun juga PPAT itu mencari rezeki di rumah BPN.
Mereka
tak mau bersuara berapa tarif yang dipasang ke masyarakat untuk mengurusi tetek
bengek sertifikasi masyarakat ke BPN. Tapi mereka mau berteriak jika ada
pegawai BPN yang istilahnya meminta ‘ongkos kerja’ untuk mengurusi urusan
mereka.
“Makanya
saya bilang maling teriak maling. Kalau benar-benar mau bersih pungli, jangan
ada sebutan biaya lain di luar biaya resmi. Ini kok enak. Mereka minta uang
jasa ke masyarakat untuk urusan ke BPN tapi pas orang BPN minta bagian malah
diteriaki pungli,” cetusnya.
“Padahal
PPAT itu bisa kerja karena mengantongi izin dari BPN. Jadi ga usah pada munafik
dan sok bersih, lah. Lagian gaji pokok pegawai BPN saat ini juga belum masuk itungan
ideal. Masih jauh lebih tinggi gaji pokok PNS DKI di era Ahok,” sungutnya lagi.
Perlu
dketahui, beberapa waktu lalu Ketua Umum PP IPPAT, Syafran Sofyan, memang
pernah mengeluarkan imbauan kepada anggotanya untuk berhati-hati terkait dengan
pungli. Syafran mengimbau agar PPAT sebaiknya tidak lagi membayar biaya-biaya
tidak resmi meskipun itu dimintakan oleh oknum pegawai suatu lembaga.
Sebab,
lanjutnya, meskipun pemberian uang itu
dilakukan misalnya oleh karyawan kantor PPAT, tetap saja PPAT akan dianggap
menjadi aktor utama yang menyuruh orang lain melakukan perbuatan seperti itu.
Penyuruh, pemberi, dan penerima sama-sama berpotensi terkena tindak pidana.
“Maksud
terselubung ucapan Syafran itu sebenarnya nyuruh pada main senyap aja. Jangan
pada teriak-teriak cem paling betul dan paling sempurna,” kata si teman orang
BPN sembari mengingat dan menertawakan suara lantang para PPAT yang menolak
pungli sewaktu menghadiri pembekalan dan penyegaran pengetahuan (upgrading)
Notaris dan PPAT se-Banten di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Oktober tahun
2016 lalu.