Sabtu, 29 April 2017

PPAT Teriak Stop Pungli, BPN: "Maling Teriak Maling"


Belum lama ini saya ada ngobrol dengan salah seorang yang bekerja di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Saya tak perlu menyebut di BPN mana rekan saya bekerja. Tak etis dan juga tak ingin dirinya jad target bully banyak orang.

Obrolan yang berlangsung santai di lingkungan kantor BPN ketika itu membahas banyak macam tema. Termasuk juga sepak bola. Pun begitu, dari banyak macam tema yang dibahas, ada satu tema yang terasa sangat menggelitik saya.

Mau tahu apa itu? “Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sekarang banyak yang bersuara keras untuk  menolak keras pungutan liar alias pungli yang hampir sehari-hari mereka dapati di BPN,”  kata teman saya.

“Oww, bagus dong, itu,” sambut saya.

“Iya bagus karena jadi simbol apresiasi mereka atas terwujudnya  tim Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Pertanahan. Tapi untuk apa kalau bagusnya cuma sebagai simbol,” jawab rekan saya.

“Suara keras mereka menolak pungli di BPN sama artinya dengan pemahaman maling teriak maling.  Mereka juga maling tapi teriakin orang lain yang maling,” cetusnya lagi.

Olala, kok, begitu?

Begini deh, lanjut teman saya, fakta lapangan membuktikan bahwa PPAT dominan terlibat langsung dengan masyarakat di urusan pertanahan. Entah itu urusan akta jual beli (AJB) untuk peralihan hak atau balik nama, entah itu urusan AJB untuk proses peningkatan hak dari girik menjadi sertifikat, atau urusan-urusan pertanahan lainnya.

Satu contoh gampangnya boleh diambil ke proses peralihan hak atau balik nama. Jika masyarakat mengurus dan memohon sendiri ke BPN, biaya yang dibebankan secara resmi untuk urusan ini bisa dicek langsung dan dibayarkan melalui bank. 

Rumus biaya untuk urusan ini adalah Rp50.000 ditambah 1 per mil NJOP. Bervariasi memang. Tapi tak sampai membuat kerongkongan tercekat saat mendengarnya.

Pun begitu, fakta lapangan toh, tak mencerminkan hal tersebut. Disebutkan teman saya, jika diambil rata-rata 100 pemohon setiap hari di BPN, yang murni memohon sendiri rata-rata maksimal cuma 10 orang. Sisanya yang 90 pemohon lagi mengajukan permohonan melalui perantara PPAT dan orang-orang PPAT.





PPAT dan orang-orang PPAT itu menjual jasa pengurusan sampai selesai ke masyarakat. Berapa nilainya? 

“Tanah yang cuma 35 m2 aja bisa dikenakan biaya AJB sekaligus balik nama Rp12 juta ke pemohon. Dari angka tersebut yang masuk ke kantong oknum pegawai BPN dan jadi kriteria  pungli paling banter Rp1 juta hingga Rp2 juta. Sisanya jadi cuan PPAT dan orang-orang PPAT,” bebernya.

“Kalau sesekali okelah kita bisa anggap jual jasa. Tapi kalau tiap hari ada masukin permohonan ke BPN apa itu ga disebut calo,” sungutnya.

“Dan catat, rata-rata PPAT itu ga mau cuma buat AJB saja tanpa terlibat untuk proses berikutnya ke BPN. Makanya hampir semua masyarakat melimpahkan urusan sertifikasi pertanahan mereka ke PPAT. Tak banyak yang memohon sendiri ke BPN. Bisa jadi karena terkendala waktu untuk mengurusnya,” sambungnya lagi.

Dikatakan, jika mau jujur dan berkaca pada diri sendiri, sudah tak sepantasnya jika ada banyak PPAT yang lantang bersuara agar BPN bersih dari praktik pungli. Karena walau bagaimana pun juga PPAT itu mencari rezeki di rumah BPN.  

Mereka tak mau bersuara berapa tarif yang dipasang ke masyarakat untuk mengurusi tetek bengek sertifikasi masyarakat ke BPN. Tapi mereka mau berteriak jika ada pegawai BPN yang istilahnya meminta ‘ongkos kerja’ untuk mengurusi urusan mereka.

“Makanya saya bilang maling teriak maling. Kalau benar-benar mau bersih pungli, jangan ada sebutan biaya lain di luar biaya resmi. Ini kok enak. Mereka minta uang jasa ke masyarakat untuk urusan ke BPN tapi pas orang BPN minta bagian malah diteriaki pungli,” cetusnya.

“Padahal PPAT itu bisa kerja karena mengantongi izin dari BPN. Jadi ga usah pada munafik dan sok bersih, lah. Lagian gaji pokok pegawai BPN saat ini juga belum masuk itungan ideal. Masih jauh lebih tinggi gaji pokok PNS DKI di era Ahok,” sungutnya lagi. 

Perlu dketahui, beberapa waktu lalu Ketua Umum PP IPPAT, Syafran Sofyan, memang pernah mengeluarkan imbauan kepada anggotanya untuk berhati-hati terkait dengan pungli. Syafran mengimbau agar PPAT sebaiknya tidak lagi membayar biaya-biaya tidak resmi meskipun itu dimintakan oleh oknum pegawai suatu lembaga.





Sebab, lanjutnya,  meskipun pemberian uang itu dilakukan misalnya oleh karyawan kantor PPAT, tetap saja PPAT akan dianggap menjadi aktor utama yang menyuruh orang lain melakukan perbuatan seperti itu. Penyuruh, pemberi, dan penerima sama-sama berpotensi terkena tindak pidana.

“Maksud terselubung ucapan Syafran itu sebenarnya nyuruh pada main senyap aja. Jangan pada teriak-teriak cem paling betul dan paling sempurna,” kata si teman orang BPN sembari mengingat dan menertawakan suara lantang para PPAT yang menolak pungli sewaktu menghadiri pembekalan dan penyegaran pengetahuan (upgrading) Notaris dan PPAT se-Banten di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Oktober tahun 2016 lalu.