Sabtu, 21 Mei 2016

Membandingkan Hukuman Pelaku Kejahatan Seksual di Indonesia dan Yaman


Untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia dibuat terkejut dan geram oleh kasus kejahatan seksual disertai pembunuhan. Eno Fariah, seorang gadis berusia 18 tahun, tewas mengenaskan usai dibunuh oleh tiga pria yang menjadi terduga pelaku di kamar mess-nya di kawasan Dadap, Tangerang. 

Eno meregang nyawa setelah kemaluannya ditusuk gagang cangkul berdiamter 3 cm sepanjang 65 cm hingga tembus ke bagian hati dan paru. Dan sadisnya lagi, gagang cangkul itu 90% terdorong masuk ke tubuh Eno dengan cara ditendang terduga pelaku.

Gagang cangkul terlihat di jasad Eno Fariah
Sebelum kasus Eno, peristiwa lain yang juga terungkap adalah kasus yang menimpa LN, seorang bocah berusia 2,5 tahun di Bogor. Korban diketahui dua kali diperkosa sebelum dibunuh oleh terduga pelaku. 

Pelaku pemerkosa dan pembunuh bocah 2,5 tahun di Bogor
Aksi pertama dilakukan terduga pelaku di kamar mandi rumahnya dengan cara membekap korban dengan tangannya. Setelah itu korban dibawa ke kamar dan tubuhnya dililit selimut untuk kemudian diperkosa lagi. 

Setelah korban diketahui tak bernyawa, terduga pelaku sempat menyembunyikan jasad korban di lemari pakaian. Dan keesokan harinya terduga pelaku membuang jasad itu di belakang rumahnya.

Kedua kasus tadi memang belum masuk ranah pengadilan. Masih berproses penyidikan di kepolisian. Tapi jika referensi vonis pengadilan untuk kasus-kasus serupa sebelumnya, rasanya mustahil buat kita berharap terduga pelaku mendapat hukuman seberat-beratnya. 

Sonny Sandra 
Satu contoh kekiniannya adalah tentang Sony Sandra, terpidana pencabulan 58 anak di Kediri. Atas kejahatan seksual yang ia perbuat, palu hakim cuma mengetok hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp250 juta. 

Lebih ke belakang lagi bisa dilihat kasus Baekuni alias Bungkih alias Babeh. Akibat perbuatannya membunuh empat bocah dan melakukan sodomi berantai terhadap belasan anak di bawah umur dalam periode 2007 hingga 2010, ia divonis penjara seumur hidup.

Sementara Sadriansyah alias Upik, si ayah yang selama setahun memperkosa putri kandungnya yang masih berusia 15 tahun pada tahun 2014 cuma diganjar vonis sembilan tahun. Padahal perbuatan bejat itu  ia lakukan  di depan istrinya sendiri yang merupakan ibu korban. Salahkah hakim?

Nanti dulu. Dorongan kuat untuk menyalahkan hakim atas vonis kasus seperti itu ditahan dulu. Kenapa? Karena dasar hukum yang menjadi acuan hakim menjatuhkan vonis itu ada dan masih berlaku sampai sekarang.

Untuk kasus kejahatan seksual atau pemerkosaan, acuan hakim menentukan vonis termuat di Pasal 285 KUHP. Bunyi dari pasal itu adalah:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

Lalu, bagaimana dengan aturan hukum untuk korban berusia di bawah umur seperti kejadian di Bogor, Kediri, dan para korban Babeh? Untuk kasus seperti itu, hakim bisa menggunakan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai acuannya.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU Perlindungan Anak”) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan ada di Pasal 76D (persetubuhan dengan anak) dan Pasal 76E (pencabulan anak).

Bunyi dari Pasal 76D UU Perlindungan Anak adalah:

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

Sementara bunyi dari Pasal 76E UU Perlindungan Anak adalah:

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

Mengenai aturan hukuman yang harus ditegakkan untuk pengertian dari bunyi kedua pasal di atas tadi tercatat di Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Apa bunyinya? 

Pasal 81 UU Perlindungan Anak:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membuju k Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 82 UU Perlindungan Anak:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Kekuatan dari sejumlah pasal tadi bisa diperberat lagi -- meski tetap tak dihukum mati -- apabila si terduga pelaku sampai menghilangkan nyawa korban kejahatan seksualnya. Pemberatan hukuman terhadap pelaku dilakukan dengan menambahkan Pasal 339 KUHP tentang pembunuhan yang didahului dengan tindak kekerasan, serta Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian.

Bunyi dari aturan Pasal 339 KUHP adalah sebagai berikut:

Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu. Jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya dari pada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

Sedangkan bunyi dari aturan Pasal 351 ayat 3 KUHP adalah:

Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Membandingkan dengan Yaman

Kita semua tentu ingin para pelaku kejahatan seksual seperti dijelaskan di atas tadi mendapat hukuman yang seberat-beratnya. Bahkan jika perlu divonis dihukum mati. Akan tetapi, harus kita akui bersama juga bahwa keinginan itu belum punya kekuatan hukum yang bisa digunakan para hakim untuk menjatuhkan hukuman.

Kalau kita melihat ke Yaman, misalnya, para pelaku kasus seperti ini, apalagi jika korbaanya adalah anak-anak, memang ada dasarnya untuk langsung divonis hukuman mati. 

Dan adilnya lagi, eksekusi para pelaku juga dilakukan secara kejam. Tak ubahnya seperti kejamnya pelaku saat melakukan kejahatan seksual terhadap korbannya. Pelaku kejahatan seksual dibawa ke lapangan terbuka untuk dieksekusi di hadapan ribuan penonton.

Selanjutnya, kemudian pelaku diposisikan tidur tengkurap di sebuah lubang seukuran badanya. Sementara si eksekutor berdiri tegak di atasnya dengan mengarahkan moncong senapan AK-MS kaliber 7,62 x 39 mm ke bagian kepala belakang pelaku yang tidur tengkurap dengan jarak kurang dari satu meter. Padahal jangkauan efektif senjata ini adalah 300 meter.

Eksekusi pelaku kejahatan seksual di Yaman
Dan begitu aba-aba diberikan, seketika itu juga eksekutor menarik pelatuk senapan untuk memuntahkan peluru berkecepatan 710 meter/detik ke kepala pelaku. Tempurung kepala si pelaku langsung pecah dan isinya berhamburan keluar. Si pelaku tewas mengenaskan. Sama seperti perbuatan yang dilakukannya. 

Hukuman seperti itu diberlakukan di Yaman dengan maksud dan tujuan untuk memberi keadilan dan rasa aman bagi warga. Selain itu, hukuman ini juga bertujuan untuk memberi rasa takut serta efek jera bagi para pelaku kejahatan, terutama kejahatan seksual yang menghilangkan nyawa seseorang.