Berat nian perjuangan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta. Selalu saja ada masalah yang menderanya. Mulai dari kesukuannya, keyakinannya, sampai ke pola pikir dan modelnya bertindak selalu ada yang memusuhi. Soal kesukuannya yang Tionghoa dan keyakinannya yang Nasrani mendapatkan musuh dari Front Pembela Islam (FPI) yang tak ingin Jakarta dipimpin sosok non muslim. Dengan DPRD DKI, pria yang akrab disapa Ahok ini juga berseteru dengan Wakil Ketua DPRD DKI, H Abraham Lunggana alias Haji Lulung gara-gara kasus dugaan korupsi kasus korupsi pengadaan alat pembangkit daya listrik atau uninterruptible power supply (UPS) senilai Rp500 miliar.
Kasus ini sudah mulai adem, sekarang muncul lagi gerakan perlawanan bernama #LawanAhok yang dimotori sejumlah organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Relawan Pejuang Kesehatan, Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Pemuda Gerindra. Gerakan ini muncul sebagai bentuk perlawanan atas aksi relokasi kawasan permukiman warga Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang berlangsung rusuh.
Gerakan ini menganggap Ahok semena-mena menjalankan kekuasaannya sebagai pemimpin DKI. Menggusur dan membuldozer rumah warga tanpa ada musyawarah. Kemudian tak memberi surat perintah bongkar kepada warga. Dan selanjutnya adalah tindakan berlebihan saat menggusur karena melibatkan empat kompi pasukan pengamanan dan ribuan Satpol PP. Salah besar, kah, Ahok?
Kalau ditanyakan ke lembaga bantuan hukum (LBH) yang mengadvokasi warga, Ahok jelas salah besar. Menggusur rumah yang dibangun dengan uang pribadi warga tanpa ada uang ganti rugi. Terus, warga yang digusur juga mengklaim punya legalitas kepemilikan lahan dalam bentuk eigendom verponding tahun 1906 peninggalan zaman Belanda. Dan bundelan surat kepemilikan terbitan Belanda itu sudah diserahkan ke petugas Badan Pertahanan Nasional yang datang ke lokasi. Singkat kata, Ahok tetap salah dan tidak pro rakyat, deh.
Tapi tunggu dulu. Coba lihat lagi persoalan ini saat berdiri di atas ‘menara netral’. Sambil memegang buku Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau bisa disingkat UUPA. Di Pasal 1 UU tersebut, disebutkan bahwa hak eigendom atas tanah yang ada saat berlakunya UUPA menjadi hak milik. Ketentuan konversi tersebut berlaku selama pemilik hak eigendom atas tanah tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UUPA.
Salah satu persyaratannya adalah, pemberlakuan konversi terhadap hak-hak barat (termasuk eigendom) dilakukan dengan pemberian batas jangka waktu sampai 20 tahun sejak pemberlakuan UUPA di tahun 1960. Artinya, mensyaratkan dilakukan konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980. Kalau lewat dari tanggal itu bagaimana?
Ada aturan turunannya untuk membahas itu yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pelaksanaan konversi hak atas tanah eigendom verponding termaktub di Pasal 24 ayat (1). Garis besar bunyinya, untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut. Mesti ada bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya disetujui oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.
Sampai di sini, sudah pernah dilakukan belum oleh warga Kampung Pulo yang berdemo? Kayaknya, sih, belum, yah. Kalau kembali ikut aturan UUPA, setelah lewat dari 24 September 1980 tanah bekas hak eigendom verponding yang luasnya lebih dari 7 hektare tak juga dikonversi ke surat Indonesia, maka otomatis kepemilikan tanah dikembalikan ke negara.
Dan rata-rata, tanah bekas eigendom verponding itu memang luas-luas. Belum pernah lihat, soalnya, tanah bekas hak eigendom verponding asli yang luasnya kurang dari 500 m2. Tetap salah, kah, Ahok? Atau malah jadi kasihan dengan Ahok? Silakan menjawab berdasarkan hati nurani dan logika berpikir masing-masing.