Jakarta dan kemacetan lalu lintas. Masalah lama yang ulasannya selalu diperbarui namun tak pernah beres. Bicara kemacetan lalu lintas, yang acap terdengar dikupas adalah soal minimnya jumlah dan panjang ruas jalan serta tingginya volume kendaraan di jalan raya. Jarang sekali membahas sikap, dan kesadaran berkendara masyarakat yang sejatinya masih rendah.
Dulu, waktu masih duduk di taman kanak-kanak, saya sering melihat poster atau plang rambu lalu lintas di sekolah. Maksudnya untuk mengenalkan arti dan makna rambu-rambu itu kepada para murid TK. Tapi setelah masuk SD dan seterusnya, tak ada lagi pola pembelajaran seperti ini. Belajarnya ya langsung melihat kondisi lapangan. Seperti situasi yang dikatakan di atas.
Berkaca dari ingatan ini, saya jadi bertanya sekaligus berharap; apakah Polantas mau menjadikan pemahaman lalu lintas itu sebagai kurikulum pelajaran berkesinambungan di sekolah? Apalagi yang saya tahu dalam tubuh organisasi Polantas ada Sub Direktorat Pendidikan dan Rekayasa (Dikyasa). Tinggal bekerja sama dengan Kemendikbud dan Dinas Pendidikan saja kalau menurut saya, sih. Contohnya, seperti Pemprov DKI melahirkan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta (PLBJ) dan Pendidikan Lingkungan Kebudayaan Jakarta (PLKJ) untuk para siswa di Jakarta, deh. Kurikulum pelajaran itu dibuat untuk membangun karakter siswa di Jakarta lebih mengenal dan memahami budaya Jakarta.
Nah, untuk lalu lintas, mungkin bisa dibuat kurikulum pelajaran dengan nama Pendidikan Budaya Lalu Lintas (PBLL) atau apalah namanya. Yang terpenting inklusi dalam kurikulum itu bisa efektif membentuk karakter sikap dan kesadaran berkendara masyarakat menjadi lebih baik. Dan pondasi itu ditanamkan secara reguler kepada masyarakat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebuah cara jangka panjang yang terusnya tetap dibarengi tindakan tegas terhadap para pelanggar lalu lintas untuk menimbulkan efek jera. Tertarik Pak Polantas?