2 Oktober 2015. Hari Batik Nasional. Batik days. Tak terasa sudah enam tahun pencanangan sekaligus perayaan seperti ini ada di Bumi Pertiwi. Dimulai dari pengakuan UNESCO, (Badan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan) di PBB bahwa batik adalah budaya Indonesia, kemudian dipertegas dengan pencanangan Hari Batik Nasional oleh Presiden ke-6 RI, Soesilo Bambang Yudhoyono,
Pengakuan UNESCO ketika itu juga menjadi 'senjata' Indonesia untuk menyelesaikan polemik dengan Malaysia. "Hello Pak Cik, Hello Mak Cik, batik itu Indonesia bukan Malaysia, yah. Ingat itu!"
Dan Malaysia pun tak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap batik. Sebuah budaya membuat corak motif di atas kain yang lahir dari tradisi masyarakat Jawa, Madura, dan sebagian Bali.
Cerita batik ini juga menjadi catatan kekalahan kesekian Malaysia atas Indonesia dari serial polemik pengakuan budaya antaranegara. Sebelum batik, Malaysia juga pernah mengklaim lagu "Rasa Sayange". Polemik ini berakhir pada 11 November 2007 tatkala Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim, akhirnya mengaku bahwa lagu tersebut milik Indonesia dan berasal dari Maluku.
Jauh hari sebelumnya, Malaysia juga pernah mengakui wayang kulit sebagai budaya mereka. Kilasan pengakuan ini secara tersamar juga ada di film anak-anak produksi Malaysia, Upin Ipin, melalui peran Tok Dalang. Panggilan Tok Dalang dalam lakon film Upin Ipin dikarenakan masa muda Tok Dalang yang panen prestasi sebagai seorang dalang wayang kulit. Polemik ini baru bisa tuntas melalui jalur UNESCO pada 27 November 2003.
Tak cuma wayang kulit, senjata keris juga termasuk warisan budaya yang dipolemikkan oleh Malaysia. Dan sampai sekarang soal ini belum beres. Di film Upin Ipin, klaim keris sebagai warisan budaya Malaysia juga tegas disuarakan lewat narasi Tok Dalang kepada Upin Ipin. Ada yang pernah ngeh saat nonton Upin Ipin?
Seri polemik lainnya dari kekalahan Malaysia adalah klaim warisan budaya angklung. Padahal sudah jelas-jelas angklung adalah kebudayaan masyarakat Sunda, tapi masih berani juga untuk diklaim. Polemik ini baru selesai pada November 2010 dan lagi-lagi lewat jalur pengakuan UNESCO.
Lebih lucu lagi adalah ketika mendengar pengakuan Malaysia terhadap Tari Piring asal Sumatera Barat dan Tari Pendet asal Bali sebagai warisan kebudayaan mereka. Tarian Pendet bahkan sampai dipakai untuk iklan promosi kunjungan pariwisata ke Malaysia (Visit Malaysia Years). Padahal lokasi asal Tari Pendet yakni Bali secara lokasi jauh dari Malaysia dan lebih dekat ke Australia. Pada akhirnya Malaysia memang, kembali menyerah dan mengakui Tari Pendet berasal dari Bali.
Kalau dikupas terus, masih ada banyak lagi warisan budaya Republik ini yang sempat dan pernah diklaim oleh Malaysia sebagai budaya mereka. Ada yang sudah selesai polemiknya, ada juga yang belum. Yang belum selesai lewat jalur UNESCO sampai tahun 2015 di antaranya, klaim masakan rendang, nasi goreng, gamelan, dan cendol sebagai budaya Malaysia.
Nah, setelah saya bercerita tentang beberapa kekalahan klaim budaya Malaysia atas Indonesia, apakah ada yang berpikir balik soal hari nasional? Batik sudah diakui UNESCO sebagai budaya Indonesia dan selanjutnya dicanangkan sebagai Hari Batik Nasional sejak tahun 2009. Bagaimana dengan pengakuan UNESCO untuk angklung dan wayang kulit sebagai budaya Indonesia? Apakah juga dibuat Hari Angklung Nasional dan Hari Wayang Kulit Nasional? Bagaimana juga dengan nasib budaya-budaya Indonesia lainnya yang juga sudah diakui UNESCO.
Saya cuma ingin bertanya, kenapa hanya batik? Kenapa cuma batik?